Senin, 25 Desember 2017

Mengapa Allah Mewajibkan Shalat



MAKALAH
IBADAH, AKHLAK DAN MU’AMALAH
“MENGAPA ALLAH MEWAJIBKAN SHALAT”

 
  

DISUSUN OLEH :
Rido
Nadya Nurul Khaliza
Suci Wulandari
Sindi Lutfitasari
Anting Sri Utami
Ayu Saputri
Maghfirotul Affida
Ajeng Iriyanti
Ibnu Sulistio






UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PURWOKERTO
FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS
AKUNTANSI S1

KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan yang maha esa yang telah berkesempatan dalam memberikan limpahan kesehatan, rahmat dan karunianya sehingga makalah yang berjudul “Mengapa Allah Mewajibkan Shalat” ini dapat diselesaikan dengan baik. Makalah ini disusun dalam hal tugas mata kuliah Ibadah, Akhlah dan Muamalah.
Atas tersusunya makalah ini, penulis menyadari bahwa dalam penyusunan makalah ini masih terlalu banyak kekurangan. Oleh karena itu, saya harap kritik dan saran yang membangun dari berbagai pihak demi makalah ini bisa lebih baik lagi. Penulis juga berharap semoga makalah ini dapat bermanfaat dalam hal ilmu pengetahuan bagi kita semua.
                                                                                    Purwokerto, 6 November 2017
                                                                                                Penulis



















DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
B.     Rumusan Masalah
C.     Tujuan Penulisan
BAB II PEMBAHASAN
A.    Pengertian Shalat
B.     Turunnya Kewajiban Shalat
C.     Kedudukan Shalat Dalam Agama
D.    Hikmah Shalat
E.     Beberapa Ketetapan Al-Qur’an Terhadap Shalat
F.      Keistimewaan Shalat
G.    Perintah Mendirikan Shalat Fardhu
BAB III PENUTUP
A.    Kesimpulan














BAB I
PENDAHULUAN

A.    LATAR BELAKANG
Shalat merupakan amal yang dihisap paling pertama di alam kubur dan merupakan amal yang paling penting, sangat pentingnya shalat pada orang sakit pun harus melakukan shalat walaupun dalam keadaan apapun ataukah sedang sakit ataupun sedang sibuk. Pada saat seseorang sedang sakit seseorang harus shalat jika tidak bisa berdiri duduk dan jika tidak bisa duduk berbaring jika masih tidak bisa berbaring cukup dengan mengedipkan mata. Betapa sangat pentingnya shalat dalam kehidupan di dunia dan di akhirat. Shalat juga sebagai tiang agama yang dimana untuk membuat karakter akhlak kita untuk lebih baik lagi dan tidak mudah terjerumus dalam lubang muslihat ataupun menujujalan yang haram.

B.     RUMUSAN MASALAH
1.      Apa Pengertian Shalat ?
2.      Bagaimana Turunnya Kewajiban Shalat ?
3.      Bagaimana Kedudukan Shalat Dalam Agama ?
4.      Apa Hikmah Shalat ?
5.      Bagaimana Ketetapan Al-Qur’an Terhadap Shalat ?
6.      Apa Keistimewaan Shalat ?
7.      Bagaimana Perintah Mendirikan Shalat Fardhu ?

C.     TUJUAN PENULISAN
1.      Mengetahui Pengertian Shalat
2.      Mengetahui Turunnya Kewajiban Shalat
3.      Mengetahui Kedudukan Shalat Dalam Agama
4.      Mengetahui Hikmah Shalat
5.      Mengetahui Beberapa Ketetapan Al-Qur’an Terhadap Shalat
6.      Mengetahui Keistimewaan Shalat
7.      Mengetahui Perintah Mendirikan Shalat Fardhu






BAB II
PEMBAHASAN

A.    PENGERTIAN SHALAT
shalat adalah suatu ibadah yang mengandung beberapa ucapan dan perbuatan tertentu, yang dimulai dengan takbir dan diakhiri dengan salam. Shalat juga merupakan kewajiban manusia yang pertama tama diminta pertanggungjawabanya oleh Allah pada hari kiamat nanti. Bila shalat seseorang baik, baiklah seluruh amalnya. Bila rusak shalatnya, rusak pula seluruh amalnya. Shalat juga merupakan pesan nabi terakhir yang disampaikan kepada umatnya pada saat nabi menjelang akhir hayatnya, yakni hendaknya umat islam selalu menjaga shalat dengan sebaik-baiknya. [1]
B.     TURUNNYA KEWAJIBAN SHALAT
1.      Anas bin Malik r.a. berkata bahwa Abu Dzar r.a. pernah mendengar Rasulullah Saw. bersabda “Ketika aku sedang berada di Mekkah, atap rumahku terbuka dan malaikat Jibril turun menemuiku, membelah dadaku, lalu membasuhnya dengan air zam-zam. Setelah itu Jibril membawa sebuah nampan emas yang isinya penuh dengan kebijaksanaan dan keimanan dan sehabis menuangkan seluruh isi nampan itu ke dalam dadaku, ia pun menutup dadaku kembali. Kemudian Jibril menggenggam tanganku dan menuntunku ke langit. Jibril berkata kepada penjaga langit, ‘Buka’. Penjaga langit berkata, ‘Siapa itu?’ Jibril menjawab, ‘Jibril’. Penjaga langit bertanya, ‘Adakah seseorang bersamamu?’ Jibril menjawab, ‘Ya. Muhammad Saw. bersamaku’ Si penjaga bertanya, ‘Apakah ia telah diutus?’ Jibril menjawab, ‘Ya.’ Maka pintu (langit) pun dibuka dan kami pergi ke langit terdekat dan disana kami melihat seorang laki-laki sedang duduk dengan aswidah (sejumlah besar orang) di sebelah kanannya dan aswidah (sejumlah besar orang) di sebelah kirinya. Ketika laki-laki itu melihat ke sebelah kanannya ia tertawa dan ketika laki-laki itu melihat ke sebelah kirinya ia menangis. Kemudian laki-laki itu berkata, ‘Selamat datang! Wahai Nabi dan anakku yang saleh.’ Aku bertanya kepada Jibril, ‘Siapa laki-laki itu?’ Ia menjawab, ‘Laki-laki itu adalah Adam, orang-orang di kanan kirinya adalah ruh keturunannya (anak cucunya). Mereka yang berada di sebelah kanan adalah para penghuni surga dan mereka yang ada di sebelah kiri adalah para penghuni neraka, manakala ia berpaling ke arah kanannya ia tertawa dan manakala ia berpaling ke arah kirinya ia menangis. ‘ Kemudian ia menuntunku hingga tiba di langit kedua dan Jibril berkata kepada penjaganya ‘Buka’. Penjaga langit mengatakan hal yang sama seperti yang dikatakan penjaga langit sebelumnya lalu membuka pintu langit kedua.”
2.       
3.                  Anas berkata, “Abu Dzar menambahkan bahwa Nabi SAW. Bertemu dengan Adam, Idris, Musa, Isa, dan Ibrahim a.s. Ia (Abu Dzar) tidak menjelaskan berada di langit yang mana mereka (para Nabi itu) berada (pada saat berjumpa dengan Nabi SAW), tetapi mengatakan bahwa Nabi SAW berjumpa dengan Adam di langit terdekat dan dengan Ibrahim di langit ke-6. “
4.      Anas berkata, “Ketika Nabi SAW dan Jibril berjumpa dengan Idris, yang disebut terakhir ini berkata, ‘selamat datang! Wahai Nabi dan saudaraku yang shaleh.’Nabi SAW bersabda ‘siapa laki-laki ini?’ Jibril menjawab, ‘laki-laki itu adalah Idris.’” Nabi Muhammad SAW menambahkan, “Aku bertemu dengan Musa dan Ia berkata kepadaku ‘selamat datang ! Nabi dan saudaraku yang shaleh.’ Aku bertanya kepada Jibril, ‘siapa laki-laki ini?’ Jibril menjawab, ia adalah Musa.’lalu aku bertemu dengan Isa dan ia berkata,’selamat datang! Nabi dan saudaraku yang shaleh .’ aku bertanya siapa laki-laki ini?’ Jibril menjawab, ‘ia adalah Isa.’ Setelah itu aku bertemu Ibrahim dan ia berkata, ‘selamat datang! Nabi dan anakku yang shaleh !’ aku bertanya, ‘siapa laki-laki ini?’ Jibril menjawab, ‘Ia adalah Ibrahim a.s.’”
5.      Ibn ‘Abbas r.a dan Abu Habbah Al-Anshari berkata: Nabi Muhammad SAW. Menambahkan, “kemudian aku dan Jibril naik ke sebuah tempat dan aku mendengar bunyi pena (dari tempat itu). “Annas Bin Malik r.a berkata : Nabi Muhammad SAW. Bersabda, “kemudian Allah ‘azza wa jalla memerintahkan shalat limapuluh waktu kepada umatku. Ketika aku kembali dengan perintah ini aku bertemu Musa dan bertanya kepadaku,’ apa yang Allah perintahkan kepada para pengikutmu ?’ aku menjawab, ‘dia memerintahkan shalat lima puluh waktu kepada umatku.’ Musa berkata, ‘kembalilah pada tuhanmu sebab para pengikutmu tidak akan sanggup menjalankan perintah itu.’ (maka akupun kembali menemui Allah dan meminta keringanan untuk umatku) dan Dia memberi keringanan hingga setengahnya. Ketika aku bertemu kembali dengan Musa dan memberitahukan hal itu kepadanya, Ia berkata, ‘ kembalilah pada Tuhanmu sebab para pengikutmu tidak akan sanggup mengerjakan perintah itu.’ Maka
6.      Akupun kembali menemui Allah dan meminta keringanan dan Dia mengurangi perintah itu hingga setengahnya lagi. Aku kembali bertemu dengan  Musa dan ia berkata kepadaku, ‘ kembalilah kepada Tuhanmu sebab para pengikutmu tidak akan sanggup mengerjakan perintah itu.’ Maka akupun kembali menemui Allah dan dia berfirman, ‘ Ini (perintah) shalat lima waktu dan shalat lima waktu ini (nilainya) setara (dengan shalat) lima puluh (waktu) sebab Kalam –ku tidak akan berubah. ‘ aku kembali bertemu dengan Musa dan ia menyarankan aku untuk kembali sekali lagi menemui Allah untuk meminta keringanan bagi umatku. Aku menjawab ‘sekarang aku merasa malu untuk meminta kembali keringanan kepada Tuhanku.’ Setelah itu Jibril membawaku ke sidrat-ul-muntaha yang diselimuti berbagai warna yang tidak dapat dilukiskan dengan kata-kata. Kemudian aku di izinkan masuk kedalam surge tempat aku menemukan tembok-tembok kecil (yang terbuat dari) mutiara dan tanahnya mengeluarkan wangi misk (minyak kasturi).”
7.      [1:345-S.A.]

C.     KEDUDUKAN SHALAT DALAM AGAMA
Di dalam Islam, shalat mempunyai arti penting dan kedudukan yang sangat istimewa, antara lain:
1.      Shalat merupakan ibadah yang pertama kali diwajibkan oleh Allah SWT yang perintahnya langsung diterima Rasulullah SAW pada malam Isra’-Mi’raj (QS. Al-Isra’/ 17:1). Anas bin Malik ra. meriwayatkan:
“Telah diwajibkan pada Nabi SAW pada malam Isra’ yakni shalat 50 (lima puluh) waktu sampai (akhirnya) menjadi lima waktu.” (HR. At-Tirmidzi 1/417: 213)
Menurut At-Tirmidzi: hadist ini hasan shahih karena memang ada jalur lain yang muttafaq ‘alayh (disepakati al-Bukhari dan Muslim) dari Abu Qatadah bahwa Nabi saw bersabda: telah diwajibkan kepadaku shalat 50 waktu. Yang kemudian disarankan oleh Nabi Musa as supaya minta keringanan hingga akhirnya menjadi 5 waktu, maka status hadis at-Tirmidzi ini naik menjadi shahih li ghayrih yakni shahih karena yang lainnya.[2]
2.      Shalat merupakan tiang agama
Nabi Muhammad saw bersabda:
“Pokok perkara adalah Islam, tiangnya adalah shalat dan puncaknya adalah jihad.”
(HHSR: Hadis Hasan Sahih Riwayat At-Tirmidzi, al-Nasa’I, Ibn Majah, Ahmad, al-Bayhaqi dan al-Thahbrani, dari Mu’adz. Dalam riwayat al-Bayhaqi dan al-Daylami dikatakan bahwa “Shalat adalah tiang agama”. Tetapi sanad hadis ini dla’if karena terputus).[3]





            Sebagai tiang agama, maka shalat harus selalu ditegakkan dan tidak boleh
ditinggalkan dalam keadaan bagaimanapun juga. Untuk itulah Allah SWT berfirman:

            Description: tulisan-arab-surat-albaqarah-ayat-238-239.jpg
Peliharalah segala shalat(mu), dan (peliharalah) shalat wustha. Berdirilah karena Allah (dalam shalatmu) dengan tenang/khusyu’. Jika kamu dalam keadaan takut (bahaya), maka shalatlah sambil berjalan atau berkendaraan. Kemudian apabila kamu telah aman, maka sebutlah Allah (shalatlah), sebagaimana Allah telah mengajarkan kepada kamu apa yang belum kamu ketahui.” (QS. Al-Baqarah/2: 238-239)
3.      Shalat merupakan amalan yang pertama kali dihisab pada hari kiamat.
Nabi saw bersabda:
“Yang pertama kali dihisab (amalan) seorang hamba pada hari kiamat adalah shalatnya…” (HHR. At-Tirmidzi, al-Nasa’I, Ibn Majah, Ahmad dan al-Thabrani).
Dalam riwayat al-Thabrani, ada tambahan:
“maka jika shalatnya baik maka baiklah semua amalnya, namun jika shalatnya rusak maka rusaklah semua amalnya.”[4]
Dijadikannya shalat sebagai standar awal dalam menilai keseluruhan amal menunjukkan bahwa kualitas pelaksanaan shalat seseorang dapat menunjukkan kualitas amalan orang tersebut.

D.    HIKMAH SHALAT
Hikmah shalat itu banyak sekali, antara lain :
i)        Memberikan ketentraman dan ketabahan hati, sehingga orang tidak mudah kecewa/gelisah/mentalnya jika menghadapi musibah; dan tak mudah lupa daratan, jika sedang mendapat kenikmatan/kesenangan, sebagaimana firman Allah dalam al-Quran surat al-Maarij ayat 20-22.
Artinya :
“apabila ia ditimpa kesusahan ia berkeluh kesah. Apabila ia mendapat kebaikan ia amat kikir. Kecuali orang-orang yang mengerjakan shalat.”
ii)      Mencegah seseorang melakukan perbuatan keji dan munkar, sebagaimana firman Allah dalam al-Quran surat al-Ankabut ayat 45.
Artinya :
“bacalah apa yang telah diwahyukan kepadamu, Al-kitab (al-Quran) dan didirikanlah shalat, sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan) keji dan munkar. Mengingat Allah (shalat) lebih besar keuntunganya daripada ibadat yang lain. Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan. [5]

E.     BEBERAPA KETETAPAN AL-QURAN TERHADAP SHALAT
Allah SWT secara berulang ulang memerintahkan kita mengerjakan shalat dengn cara cara tertentu, dan memuji muji orang yang bershalat engan aneka ragam susunan kata-kata.
1.      Pada suatu tempat dalam al-quran Allah SWT, menerangkan bahwa “orang-orang yang menegakkan shalat, itulah orang yang mempusakai firdaus.”
Seperti arti surat Q.A. 1-11 S.23 : AL-MU’MINUN. Ayat itu menegaskan bahwa allah swt memastikan syurga bagi segala mereka yang melaksanakan “A’malul biri= pekerjaan-pekerjaan bakti dan utama” yang dimulai dengan shalat dan disudahi dengan shalat. Mereka dikekalkan dalam firdaus ilahi.
2.      Pada ayat yang lain di dalam al-quran allah swt menerangkan bahwa : “segala manusia bertabiat keluh kesah, rusuh resah, tiada berjiwa tenang, suka menahan kebajikan, yang tidak demikian hanyalah manjsia yang bershalat.”
Dalam Q.A. 19-35.S.70:AL MA’ARIJ Allah SWT memulai penerangan dengan “shalat” dan Allah SWT menutupinya dengan “shalat” juga. Hal ini menunjukan bahwa shalat itu sangan penting kedudukanya di antara berbagai macam tha’at.
3.      Berulang kali Allah SWT mengkhususkan sebutan shalat padahal shalat itu tha’at juga sebagai puasa dan zakat.
Dalam ayat Q.Q. 45. S. 29 : AL ‘ANKABUT dalam ayat ini allah SWT mengkhususkan sebutan shalat, padahal dalam perintah membaca kitab atau Al-Quran itu telah terkandung suruhan mengerjakan tha’at yang masuk ke dalam tha’at itu, mendirikan shalat, dan terkandung pula suruhan menjauhkan maksiat.
4.      Dengan tegas Allah SWT menerangkan hikmat mendirikan shalat. Seperti pada ayat Q.A.45.S.29 : AL-‘ANKABUT 1 Allah SWT menegaskan hikmat shalat, yaitu  : jauh dari kata kejahatan dan kemunkaran.
5.      Dengan tegas Allah SWT menggerakan kita untuk menyuruh seluruh keluarga kita mengerjakan shalat
Seperti dalam Q.A.123,S.20 : THAHA dengan tegas benar ayat inimemerintahkankita supaya melaksanakan shalat, serta bersabar menahan kesulitan kesulitan dan kesusahan-kesusahan yang di sebabkan shalat itu.
6.      Allah SWT memerintahkan kita menjalankan shalat, dan shabar sebagai penolong dalam kita menegakkan segala rupa tha’at dan kebajikan.
Seperti dalam Q.A. 45, S.2 : AL BAQARAH dan Q.A. 153. S. 2 : AL BAQARAH. Terang dan tegas ALLAH SWT memerintahkan kita mempergunakan shalat dan sabar untuk alat menghasilakn maksud yang baik untuk perkakas mewujudkan kebajikan.
7.      Allah SWT membangsakan orang-orang yang ditimpakan siksa kepada orang-orang yang mensia-siakan shalat.Seperti pada Q.A. 59. S. 19 : MARYAM. [6]
F.      KEISTIMEWAAN SHALAT
1.      Shalat adalah fardhu’ yang mula-mula difardlukan dari ‘ibadat-‘ibadat  badaniyah
2.      Shalat , tiang agama
3.      Shalat lima waktu difardlukan dimalam mi’raj di langit
4.      Shalat akhir wasiat nabi kita SAW dan nabi-nabi yang lain
5.      Shalat permulaan amal yang dihisab di akhirat, dan akhir ‘ibadat yang ditinggalakan ummat di dunia
6.      Shalat seutama-utama syiar islam, dan sekuat-kuat tali perhubungan antara hamba dengan Allat SWT.[7]

G.    PERINTAH MENDIRIKAN SHALAT FARDHU
Maha suci allah, yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari masjidil haram ke masjidil aqsha yang telah kami berkahi sekelilingnya, agar kami perlihatkan kepadanya sebagian dari tanda-tanda (kebesaran) kami. Sesungguhnya, Dia adalah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui (QS. Al-israa’(17) : 1)
1.       Berawal Dari Tahun Duka Cita (Amul Huzni)
Sejak diangkat menjadi rasul pada usia 40 tahun yang ditandai dengan turunnya wahyu pertama di Gua Hira’ pada tanggal 17 Ramadhan atau 6 Agustus 610 M., tugas berat untuk syiar agama Islam harus dihadapi Rasulullah Muhammad SAW. Diperlukan waktu hampir 23 tahun (13 tahun di Madinah dan 10 tahun di Mekkah) dengan banyak ujian, cobaan dan duka lara yang harus dihadapinya demi menegakkan kalam Ilahi. Intimidasi baik berupa mental, fisik, maupun tuduhan-tuduhan keji yang tidak mendasar dilayangkan kepada rasulullah SAW. Tidak hanya sesekali namun intimidasi ini dilakukan secara bertubi-tubi oleh orang-orang kafir. Mulai tidak diterimanya beliau sebagai anggota masyarakat (diasingkan dari pergaulan) di Mekkah, embargo makanan kepada umat islam oleh kaum musyirikin Quraisy, upaya pembunuhan, dituduh orang gila, penyihir, pembangka terhadapa kepercayaan (agama) nenek moyang, dan sebagainya.
Melihat kondisi yang begitu memprihatinkan, baik secara fisik maupun mental, yang terjadi hampir selama 5 tahun pasca kerasulannya, maka Allah Swt memerintahkan beliu untuk hijrah ke Habsyah (Madinah) bersama pengikutnya. Meskipun di Madinah kondisi keamanan dan lebih bersahabat, namun gangguan masih tetap terjadi terutama dari kaum Yahudi dan orang-orang munafik.
Meskipun bentuk intimidasi tetap berlangsung semua hal itu Nabi SAW menyurutkan langkahnya untuk menyampaikan risalah Islam. Banyaknya kaum musyirikin Quraisy dan Yahudi yang tidak bersedia memeluk agama Islam, juga tidak membuatnya berduka cita. Semuanya dihadapi dengan kesabaran.
Hanya satu peristiwa yang membuat beliau tergunjang secara psikologis, yakni ketika dua orang yang dicintainya, yaitu Abu Thalib (paman) dan Siti Khadijah Ra. (istri) meninggalkan beliau untuk selama-lamanya dengan jarak waktu yang tidak terlalu lama. Peristiwa ini terjadi pada tahun ke-10 sejak masa kenabiannya atau beliau pada saat itu berusia 50 tahun. Tahun ini disebut dengan tahun duka cita ‘Amul Huzni”.
Jasa sang paman yang mengasuh, menjaga, dan melindungi Rasulullah SAW sejak umur 8 tahun hingga dewasa dari orang-orang musyirikin Quraisy, tidak mudah untuk dilupakan oleh beliau.
Sementara istirinya, Siti Khadiyah r.a, yang merupakan salah satu saudagar kaya di Mekkah, selalu rela mengorbankan seluruh harta dan jiwanya untuk mendampingi, memotivasi, menghibur dan mensupport beliau dalam menjalankan perintah Allah SAW untuk syiar Islam. Hampir 24 tahun, Khadijah ra. mendampingi Muhammad SAW baik dalam suka maupun duka. Pada usia 65 tahun, Allah Swt memanggil Khadijah r.a untuk selama-lamanya. Padahal, saat itu, kondisi konflik antara umat Islam dan kaum musyrikin Quraisy sedang genting dan mencapai titik kulminasi.
Demikian besar jasa Abu Thalib dan Siti Khadijah, maka tidak heran jika saat keduanya meninggal dunia, Rasulullah SAW merasakan kesedihan yang sangat mendalam.[8]

2.      Isra’ Miraj Dan Perintah Mendirikan Shalat
Allah SWT memberikan cobaan dan ujian kepada hamba-nya tidak mungkin melebihi kapasitasnya. Dia Maha Tahu akan keberadaan dan batas-batas kemampuan masing-masing makhluk-Nya. Semakin tinggi derajat yang akan diberiakan, maka semakin berat pula ujian dan cobaan yang akan diterimanya. Kenapa? Hal ini semata-mata untuk mempersiapkan hamba-Nya, baik secara lahir maupun batin, agar tangguh dalam menjalankan tugasnya selaku Khalifatullah fil ardhi dan dalam menghadapi intimidasi musuh-musuh Allah SWT. Ada banyak hikmah yang dapat dipetik dengan diberikannya ujian dan cobaan. Pertama, ini menandakan bahwa hamba tersebut telah menarik perhatian Allah SWT untuk dijadikan abdi-Nya. kedua, allah SWT melakukan pengawasan terhadap abdi-Nya selama menjalani proses ujian dan cobaan. Seharusnya manusia merasa bangga dan bahagia bila mengetahui rahasia ini bahwa dirinya senantiasa dalam pengawasan sang khaliq di setiap saat dan waktu.
Demikian pula, ujian dan cobaan yang diberikan kepada Rasulullah SAW. Tahun duka cita merupakan batu pijakan bahwa beliau tengah dipersiapkan secara lahir dan batin untuk menerima rahmat dan karunia yang sangat luar biasa dibalik peristiwa yang akan beliau alami.
A.    Peristiwa Isra’ Mi’raj
Apa gerangan rahmat dan karunia Allah SWT yang akan diberikan kepada beliau pasca peristiwa ‘amul huzni?
Yaitu, peristiwa Isra’ Mi’raj; suatu perjalanan atauwisata ruhani sebagai penawar duka cita atas kesedihan hatinya, sekaligus diberikan “bonus” berupa perintah mendirikan shalat 5 waktu sebagai sarana penyembahan hamba kepada Tuhannya. Menurut Ibnu Katsir, peristiwa isra’ mi’raj terjadi pada tanggal 27 Rajab tahun ke-11 sejak masa kenabian Muhammad SAW. Hal ini sesuai dengan yang digambarkan didalam Al-Qur’an: (QS. Al-Israa’(17): 1)

Banyak riwayat yang menceritakan tentang bagaimana peristiwa istimewa yang dialami Rasulullah SAW saat melakukan perjalanan isra’ mi’raj. Selain ayat tadi, banyak hadis Qudsi yang menceritakan peristiwa fenomenal ini. Mulai perjalanan yang begitu mencengangkan dan tidak dapat diteriam dari logika. Rasulullah SAW menempuh perjalanan ini hanya satu malam. Padahal, diperlukan waktu hampir dua bulan pulang pergi dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsha dengan mengendarai unta sebagai alat transportasi yang tersedia waktu itu. Apalagi harus menembus ke Sidratul Muntaha. Rasanya tidak masuk akal. Atas peristiwa ini, banyak dari kaum Quraisy yang menertawakan dan menganggap Rasulullah Saw tukang bohong.

B.     Isra’ Mi’raj sebagi Ujian Iman
Tidak hanya kaum musyirikin Quraisy yang tidak mempercayai dengan adanya peristiwa isra’ mi’raj, tetapi juga beberapa umat Islam yang masih tipis imannya, sehingga mereka akhirnya kembali murtad (keluar dari islam). Secara logika, bagaimana mungkin Muhammmad SAW  melakukan perjalanan dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsha dalam tempo satu malam?
Penilaian beberapa umat Islam yang murtad dan kaum musyirikin Quraisy tentu ada benarnya bila perangkat yang digunakan adalah logika. Namun sayangnya, mereka keliru menggunakan perangkat (otak) dalam menilai wilayah ketuhanan. Seharusnya, mereka menggunakan hati, sebagai tempat bersemayamnya iman seseorang.
Muhammad SAW sendiri berusaha meyakinkan mereka melalui dialog dengan Abu Bakar ash-Shiddiq didepan khalayak umum dan pembuktian dengan realitas yang dilihat dengan mata kepala mereka sendiri, namun mereka tetap tidak mempercayainya. Apa gerangan bukti tersebut?
Begitu selesai menunaikan perjalanan isra’ mi’raj Rasulullah SAW langsung mengumpulkan beberapa orang untuk mengabarkan tentang peristiwa apa yang baru saja dialaminya. Beliau mengabarkan bahwa semalam telah melakukan perjalanan dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsha kemudian berhenti sejenak untuk menunaikan sholat sunnah dan melanjutkan perjalanan ke Sidratul Muntaha. Setelah turun dari langit, beliau kemudian meneruskan perjalanan dari Masjidil Aqsha hingga kembali lagi di Masjidil Haram.
Adapun bukti bahwa beliau mengalami peristiwa isra’ mi’raj dapat saya nukilkan dari H.M.H. Al-Hamid Al-Husaini berikut ini
Pertama, mendengar berita yang tidak masuk logika tersebut, banyak orang yang telah memeluk islam kembali kepada agama semula (murtad). Kemudian mereka mendatangi Abu Bakar dan berkata,” hai Abu Bakar, bagaimanakah sesungguhnya sahabat Anda itu? Ia mengaku pergi ke Baitul Maqdis tadi malam,. Dan setelah shalat disana, ia pulang ke Mekkah!” Abu Bakar bertanya, “ Apakah kalian tidak mempercayainya? Demi Allah, kalau ia mengatakan hal itu, apa yang dikatakannya pasti benar. Apakah yang membuat kalian merasa heran? Bukankah beliau telah memberi kabar kepada kita bahwa Allah menurunkan Jibril dari langit ke bumi setiap saat ia membawa wahyu? Itu lebih aneh daripada berita yang mengherankan kalian!”
Setelah itu, Abu Bakar menemui Rasulullah SAW kemudian ia bertanya, “Ya Rasulullah, benarkah anda datang dari Baitul Maqdis tadi malam?” beliau menyahut, “ ya, benar.”
Ya Rasulullah, cobalah sebutkan kepadaku bagaimana Baitul Maqdis itu? Aku sudah pernah pergi kesana”, kata Abu Bakar (Rasulullah sebelumnya belum pernah berpergia ke Baitul Maqdis sebelum peristiwa Isra’ Mi’raj).
Seketika itu juga, gambaran Masjidil Aqsha tampak jelas di depan mata Rasulullah Saw sehingga beliau dapat menyebutkan bagian-bagian dari bangunan masjid tersebut.
“ Anda sungguh tidak berdusta, Ya Rasulullah! Aku bersaksi bahwa Anda benar-benar utusan Allah!”
Tiap Abu bakar mendengar bagian-bagian Baitul Maqdis disebutkan ia berulang-ulang mengucapkan “Anda benar...anda benar.” Sejak itulah Rasulullah SAW menamainya Abu Bakar ash-Shiddiq (Yakni Abu bakar yang selalu membenarkan). Demikianlah kisah isra’ mi’raj yang diriwayatkan oleh Hasan.
Kedua,setelah Rasulullah SAW menyampaikan berita  tentang  isra’ mi’raj kepada mereka yang tidak mempercayai, semuanya heran. Lalu mereka bertanya “hai Muhammad, manakah buktinya? Kami sama sekali belum pernah mendengar cerita semacam itu!”
Beliau menjawab, “ tadi malam aku melewati Khafilah Bani Fulan disebuah lembah. Binatang (Bouraq) yang aku tunggangi mengejutkan mereka hingga ada seekor diantara unta-unta mereka melesat jauh. Mereka kutunjukkan dimana tempat unta yang melesat itu. Ketika itu aku sedang menuju kearah negeri Syam. Sampai ditempat bernama Dhajnan, aku melewati lagi sebuah khafilah kepunyaan Bani Fulan. Kulihat mereka sedang tidur nyenyak. Mereka mempunyai air minum didalam wadah penutup. Wadah itu kuambil, kubuka tutupnya dan airnya ku minum, kemudian wadah itu ku tutup kembali seperti semula. Sekarang, kafilah mereka sedang murung dari dataran tinggi baidha, disebuah tikungan jalan Tan’im. Yang paling depan seekor unta berwarna cokelat tua dan berpunuk dua, yang satu berwarna hitam dan berpunuk dua, yang satu berwarna hitam dan yang lain berbelang-belang.”
Khalayak umum kemudian beramai-ramai pergi ke tikungan jalan di Tan’im untuk membuktikan kebenaran kata-kata Rasulullah SAW. Beberapa saat kemudia, kafilah yang disebut Rasulullah SAW itu tiba di tikungan Tan’im, dan terbukti unta yang berjalan di depan kafilah warna dan sifat-sifatnya cocok dengan yang disebut Rasulullah SAW. Mereka bertanya kepada rombongan kafilah tentang air yang habis di dalam wadah tertutup. Ternyata, apa yang dikatakan Rasulullah SAW mengenai itu pun benar-benar terjadi. Ketika mereka bertanya kepada kafilah lain yang tiba lebih dahulu di Mekkah mengenai kejutan yang membuat unta kafilah itu lari melesat jauh, pun dijawab bahwa apa yang diceritakn Rasulullah SAW mengenai kejadian itu memang benar.
Meskipun kedua bukti tersebut jelas dan tidak terbantahkan, namun sebagian umat islam dan kaum musyirikin quraisy tetap tidak mempercayainya. Mereka inilah golongan manusia yang telah ditutup hatinya oleh Allah SWT untuk menerima islam dan iman.
Umat islam yang mengaku beriman kepada rukun iman dan rukun islam wajib hukumnya meyakini peristiwa isra’, meskipun secara logika tidak mampu dicerna. Bukti peristiwa isra’ telah tertulis dalam al-Qur’an dan diperkuat hadits Qudsi yang berisi dialog antara Abu Bakar dengan Rasulullah SAW tentang gambaran Baitul Maqdis,serta pembuktian kepada masyarakat saat itu tentang dua kafilah yang ditemuinya.
Sewaktu berada di Sidratil Muntaha inilah, Rasulullah SAW menerima perintah untuk mendirikan shalat fardhu sebanyak lima kali dalam sehari semalam. Saat menerima perintah ini, malaikat Jibril tidak berada disampingnya karena hanya manusia suci dan bersihlah yang mampu memasuki wilayah tersebut. Bila Jibril berani memasuki wilayah ini, maka dia akan terbakar.
Wahyu mendirikan shalat ini merupakan hal yang istimewa bagi Rasulullah SAW diantara wahyu lain yang diterimanya. Kenapa? Karena beliau menerima langsung dari allah swt  tanpa melalui perantaraan malaikat  jibril.

C.      Jibril  Mengajari Shalat kepada Muhammad SAW
Dalam  khasanah dunia islam,dikisahkan tentang bagaimana rasulullah SAW diajari malaikat jibril (tentunya dengan seizin Allah SWT) pasca menerima perintah untuk mendirikan shalat fardhu sehari semalam, terutama dalam hal jumlah raka’at maupun waktu masing-masing shalat tersebut.
Ketika matahari telah sedikit condong kearah barat, maka malaikat jibril memerintahkan Rasulullah SAW mendirikan shalat dhuhur. Demikian  pula, saat memasuki awal  waktu  shalat ashar, magrib, isya’ dan subuh. Demikian dilain waktu malaikat Jibril juga menyuruh nabi mendirikan shalat dhuhur, ashar, magrib, isya’ dan subuh diakhir waktu masing-masing shalat. Inilah bentuk pengajaran malaikat Jibril kepada Muhammad SAW mengenai awal dan akhir waktu dari masing-masing shalat fardhu. Hal ini sesuai dengan QS. An-Nisaa’ ayat 103.[9]








[1] Prof. Drs. H. Masjfuk Zuhdi, studi islam jilid II : ibadah, Jakarta Utara:CV Rajawali, hlm 13.
[2] Syakir Jamaluddin, M.A., Shalat sesuai tuntunan Nabi saw., Yogyakarta: LPPI UMY, hlm 44.
[3] Syakir Jamaluddin, M.A., Shalat sesuai tuntunan Nabi saw., Yogyakarta: LPPI UMY, hlm 44.
[4] Syakir Jamaluddin, M.A., Shalat sesuai tuntunan Nabi saw., Yogyakarta: LPPI UMY, hlm 46.
[5] Prof. Drs. H. Masjfuk Zuhdi, studi islam jilid II : ibadah, Jakarta Utara:CV Rajawali, hlm 14
[6] teungku muhamman hasbi ash shiddieqy, Prof. DR., pedoman shalat, Semarang:PustakaRizkiPutra, hlm47.
[7] teungku muhamman hasbi ash shiddieqy, Prof. DR., pedoman shalat, Semarang:PustakaRizkiPutra, hlm47.
[8] Iwan fahri cahyadi,Dahsyatnya Mukjizat Rakaat-Rakaat Shalat Fardhu,Yogyakarta:Sabil,hlm 26.
[9] Iwan fahri cahyadi,Dahsyatnya Mukjizat Rakaat-Rakaat Shalat Fardhu,Yogyakarta:Sabil,hlm 29-39

0 komentar:

Posting Komentar